Oleh Ilham Dwi Hatmawan ( The Practice )
Kota Purbalingga yang sekarang kita
tempati ini konon dahulu hanya sebuah tempat kosong yang hanya ditumbuhi pohon
besar di mana-mana. Awal mulanya adalah pada abad 16. Saat itu ada seseorang
yang bernama KI Tepus Rumput. Ia hidup di zaman kerajaan Cirebon. KI Tepus
Rumput diutus Syeh Bakir untuk beranak cucu dan memajukan wilayah Pengalasan
Kulon. Waktu itu Sultan Adji, Raja Kerajaan Cirebon memberi izin KI Tepus
Rumput untuk pergi ke wilayah lereng Gunung Slamet.
“Kau
kuizinkan untuk pergi ke wilayah Jawa Tengah, tapi kuperingatkan agar engkau
selalu berhati-hati. Ingat bahwa bahaya akan selalu ada di depan matamu!” kata
Sultan Adji.
“Terima
kasih, Raja. Saya akan segera pergi ke wilayah Jawa Tengah sesegera mungkin.”
kata KI Tepus Rumput.
“Ya,
kau kutempatkan di wilayah lereng Gunung Slamet. Buat wilayah di sana menjadi
wilayah yang maju!” perintah Raja.
“Baik
Yang Mulia. Saya mohon undur diri.” pamit KI Tepus.
Setelah
hari itu, KI Tepus dan rombongannya segera pergi ke wilayah lereng Gunung
Slamet. Perjalanan panjang mereka lalui dengan berani. Tetapi mereka juga
menemui banyak kendala. Suatu ketika
datang seekor harimau buas, harimau tersebut menerkam isterinya hingga meninggal. Saat itu KI Tepus mengalami puncak putus asanya. Ia menenangkan diri di hutan di bawah sebuah pohon. Berhari-hari ia berdiam diri. Akhirnya Ia mendapatkan sebuah perintah dari seseorang.
datang seekor harimau buas, harimau tersebut menerkam isterinya hingga meninggal. Saat itu KI Tepus mengalami puncak putus asanya. Ia menenangkan diri di hutan di bawah sebuah pohon. Berhari-hari ia berdiam diri. Akhirnya Ia mendapatkan sebuah perintah dari seseorang.
“Hai
Tempus Rumput! Jangan takut denganku, aku KI Kanthataga, kakekmu!” kata seseorang yang tiba-tiba
muncul di hadapan KI Tepus.
“Hormatku
Kakek!” kata KI Tepus.
“Wahai,
cucuku. Carilah cincin Soca Ludira di bawah pohon jatiwangi.” perintah KI
Kantharaga.
“Baik.
Akan tetapi, jika saya telah menemukan cincin tersebut apa yang harus hamba
lakukan?” tanya KI Tepus.
“Serahkan
cincin Soca Ludira tersebut kepada Sultan Hadiwijaya. Niscaya engkau akan
mendapatkan apa yang engkau mau.” kata KI Kantharaga.
“Terima kasih KI!” ucap KI Tepus.
Seketika KI Kantharaga menghilang
dari hadapan KI Tepus Rumput. Setelah kejadian itu, KI Tepus mencari cincin
Soca Ludira yang KI Kantharaga maksud. Berhari-hari Ia mencari Soca Ludira dan
tepat pada hari ketujuh, KI Tepus menemukan cincin Soca Ludira. Benar, Ia
menemukannya tepat di bawah pohon jatiwangi yang paling tinggi dan paling besar
daripada pohon lainnya.
“Ya, pasti cincin inilah yang KI
Kantharaga maksud.” hatanya dalam hati. “Aku akan segera berikan cincin ini ke
Sultan Hadiwijaya.” katanya keras-keras.
Setelah itu, KI Tepus Rumput dan
rombongannya segera pergi ke Kerajaan Pajang.
“Ayo semua! Kita menuju Pajang!!!”
seru KI Tepus Rumput.
“Ayo!!!!!!!” sahut para prajurit dan
rombongan lain.
Perjalanan menuju Pajang bukanlah
perjalanan yang mudah. Berhari-hari rombongan KI Tepus berjalan menuju Kerajaan
Pajang. Saat sampai di sana, KI Tepus masih harus berjuang meyakinkan para
prajurit istana.
“Permisi, saya Tempus Rumput dari
Kerajaan Cirebon akan menemui Sultan Hadiwijaya.” Kata KI Tepus kepada seorang
prajurit penjaga pintu istana.
“Maaf, apa keperluanmu menemui
Sultan?” tanya prajurit.
“Saya akan mengikuti sayembara.”
kata KI Tepus.
Sebelumnya KI Tepus sebenarnya sudah
mengetahui sayembara yang Sultan Hadiwijaya adakan, akan tetapi KI Tepus tidak
pernah berfikir untuk mengikuti sayembara itu.
“Baik, silahkan masuk.” kata prajurit
istana sambil membuka gerbang besar pintu masuk kerajaan.
“Terima kasih!” ucap KI Tepus.
Setelah diperkenankan masuk,
rombongan KI Tepus segera di bawa ke ruang perjamuan tamu.
“Mohon tunggu sebentar.” kata
seorang penjaga.
“Baik.”
kata KI Tepus dengan wajah gembira.
Tidak
lama, Sultan Hadiwijaya masuk ke ruangan tersebut bersama isteri dan
dayang-dayangnya.
“Hormatku
Yang Mulia!” kata KI Tepus diikuti para rombongan.
“Ya.
Apa yang kau bawakan padaku?” tanya
Sultan Hadiwijaya.
“Yang
Mulia, saya mendengar anda mengadakan sayembara untuk menemukan cincin permata
Soca Ludira. Apakah saya boleh mengikutinya?” tanya KI Tepus.
“Ya,
benar. Apabila orang yang menemukan tersebu apabila ia laki-laki akan kuberikan
satu selir tercantikku untuknya dan apabila di perempuan akan kupinang di
sebagai isteriku.” kata Sultan Hadiwijaya. “Apakah kau membawanya?” tanya
Sultan.
“Ya
Sultan. Ini..” kata KI Tepus sembari memberika cincin Soca Ludira tersebut
kepada Sultan Hadiwijaya.
“Ya,
benar. Ini cincin Soca Ludira saya yang hilang!” seru Sultan Hadiwijaya.
“Bagaimana kau bisa mendapatkannya?” tanya Sultan.
“Begini
Yang Mulia, saya menemukan cincin Soca Ludira tersebut di bawah sebuah pohon
jatiwangi saat dalam perjalanan menuju lereng Gunung Slamet.” kata KI Tepus.
“Baik.
Saya akan tepati janji saya.” kata Sultan. “Kemari Menoreh!” panggil Sultan
Hadiwijaya.
“Baik
Sultan!” kata Menoreh. Ia adalah selir Sultan Hadiwijaya yang paling cantik di
antara yang lainnya.
“Aku
persembahkan dia untukmu. Lindungi dia karena saat ini dia sedang mengandung empat
bulan, kelak anak tersebut akan menjadi anakmu dan Menoreh. Aku juga
anugerahkan engkau menjadi Adipati Onje dan gelarmu sekarang adalah Raden
Ore-Ore.” kata Sultan yang sedang bahagia.
“Baik
Sultan.” Kata KI Tepus Rumput.
“Sebelum
engkau kembali ke Pengalasan Kulon, tinggallah sebentar di istana!” perintah
Sultan.
KI
Tepus Rumput menerimanya. Ia tingal di istana beberapa waktu. Selanjutnya Ia
harus melanjutkan perjalanannya ke Pengalasan Kulon bersama rombongannya dan
bertambah Menoreh dan jabang bayinya.
“Kami
akan segera pergi Sultan!” kata KI Tepus.
“Baik,
berhati-hatilah. Sekali lagi, lindungi Menoreh. Jangan sampai Ia terluka!”
pesan Sultan Hadiwijaya.
Perjalanan
kali ini juga tidak sepenuhnya berjalan mulus karena saat itu rombongannya
diikuti oleh orang jahat, namanya Jala Sutera. Namun saat KI Tepus akan melawan
Jala Sutera, ia dihalang-halangi prajuritnya sendiri.
“Ingat
Yang Mulia, anda harus melindungi Yang Mulia Menoreh.” kata seorang prajurit.
“Baik,
lawan Jala Sutera sampai Ia mati!” perintah KI Tepus.
Tenyata
Jala Sutera tidak banyak memiliki ilmu bertarung, sekali Ia dijurus oleh
prajurit KI Tepus, Jala Sutera langsung kalah dan mati seketika.
“Kita
lanjutkan perjalanan!” kata prajurit tersebut.
“Terima
kasih!” kata KI Tepus.
Sesampainya
di Pengalasan Kulon, KI Tepus dan rombongannya bahu - membahu membentuk sebuah
daerah yang maju dan makmur. Seketika itu pula, daerah tersebut menjadi lumbung
pangan di daerah sekitarnya. Tidak terasa Menoreh telah sembilan bulan mengandung,
Ia lalu melahirkan putera yang tampan. Walaupun anak tersebut bukan darah
daging KI Tempus, Ia tetapi menyayanginya seperti anak kandungnya sendiri.
Setelah kelahiran puteranya tersebut, KI Tepus membawa anak tersebut kepada
Sultan Hadiwijaya, ayah kandung anak tersebut.
“Yang
Mulia, anak anda telah lahir.” kata KI Tepus.
“Anak
ini aku beri nama Hanyokro Kusumo, panggil dia Jimbun Lingga.” kata Sultan
Hadiwijaya.
“Baik
Yang Mulia!” kata KI Tepus.
“Aku
do’akan Ia menjadi pemimpin yang bijaksana dan taat kepada orang tuanya.” do’a
Sultan.
KI
Tepus pulang ke Pengalasan Kulon. Mereka disambut oleh warga Pengalasan Kulon
dengan suka cita. Setiap hari KI Tepus mengajari Jimbun Lingga dengan hal-hal
baik. Hingga Jimbun tumbuh menjadi pria dewasa.
KI
Tepus Rumput merasa Jimbun Lingga dewasa telah siap untuk Ia bawa bekerja sama
membangun daerah baru yang maju.
“Anakku,
jadilah engaku pemimpin yang bijaksana!” kata KI Tepus Rumput.
“Baik
Yang Mulia.” kata Jimbung Lingga.
KI
Tepus megajak Hanyokro Kusumo membentuk sebuah kawasan baru yang akan mereka
bangun di sebelah Barat Sungai Klwaing. Mereka menamainya Purbalingga. Karena
daerah tersebut berasal dari kawasan purba yang pembangunannya dipimpin oleh
Hadipati Ore – Ore sendiri.
Sekarang Purbalingga adalah sebuah kabupaten
yang maju dan tidak kalah dari daerah lainnya. Ya, Purablingga kita ini adalah
Purbalingga yang bernilai sejarah tinggi.
SELESAI
2 comments:
Ijin share ya,makasih,salam paseduluran...
Sipp gan.. Salam Braling!! XD
Posting Komentar