Oleh Ilham Dwi Hatmawan
Aku
dan Willy sudah bersahabat sejak kita masih kecil. Willy adalah anak muda biasa
yang mudah bersahabat dengan siapapun, tetapi sifatnya inilah yang telah
membuat hidupnya hancur dan berakhir tanpa arti.
Saat
itu Willy dan aku duduk di bangku kelas 8. Willy adalah anak yang cerdas tetapi
tetap bisa bergaul dengan lingkungannya, karena itu banyak teman yang
menyukainya. Suatu ketika ia pernah bertemu dengan Randy, siswa SMA yang
terkenal sebagai ‘Raja Sekoah’ karena sifatnya yang buruk dan jelas berbanding
terbalik dengan sifat Willy. Sepulang sekolah saat Randy berada di warung depan
sekolah Willy. Ia bertemu dengan Willy.
“Woi
bocah tengik, loe baru pulang?” kata Kak
Randy saat bertemu dengan Willy.
“Iya,
emang kenapa? Loe Randy kan? Gue saranin cepet-cepet tobat deh!” sahut Willy dengan
santai lewat begitu saja di depan muka Kak Randy.
“Heh,
apa maksud loe? Sialan gak sopan banget!” kata seorang teman Kak Randy.
“Iya
deh. Maaf aja, tapi emang bener ‘kan?” jawab Willy. Sebenarnya ia sadar kalau
ia sedang menantang maut karena terlalu berani.
“Sial!!!”
kata teman Kak Randy sambil mengayunkan tonjokan yang hampir saja mengenai muka
Willy.
“Santai,
Bro!” kata Kak Randy pada temannya.
“Tunggu
dulu, jarang banget gue ketemu sama adik kelas kaya loe. Ntar malem ada acara
nggak?” sambung Randy sambil merangkul Willy.
“Gak!”
jawab Willy pendek.
“Sebentar
aja, nnti malem ketemuan di depan toko belakang sekolah.” ajak Kak Randy.
“Okelah..
tapi gak pake lama kan?” jawab Willy yang tanpa sadar menerima ajakan Kak Randy.
Siang
itu mereka pulang ke rumah masing-masing. Sampai di rumah, Ibu Willy terlihat
sudah menunggu dengan muka yang cemas.
“Assalamu’alaikum,
Bu!” salam Willy.
“Ya
ampun, Wa’alaikumsalam! Tumben kamu pulang telat?” tanya Ibu dengan hati lega.
“Iya
Bu, maaf. Tadi ada urusan sebentar.” Jawab Willy.
“Oh,
begitu. Ya sekarang kamu cepat ganti baju, sholat lalu jangan lupa makan
siang!” perintah Ibu Willy.
Setelah
makan segera mungkin Willy mengerjakan tugas sekolahnya seperti biasa, selain itu
ia juga ingat kalau nanti malam ia harus bertemu dengan Kak Randy. Malamnya,
tepat setelah maghrib usai, Willy segera pergi ke toko tempatnya membuat janji
dengn Kak Randy.
“Eh..
Kak, dah lama?” pecahnya untuk membuka pembicaraan mereka.
“Eh...
elo Will, gue dah lama nunggu, gue kira loe lupa!” jawab Kak Randy sedikit
kesal.
“Sorry
deh, emang kenapa harus di tempat beginian si?” tanya Willy yang
terheran-heran.
“Biar
aman.” jawab Kak Randy.
“Maksudnya?”
sahut Willy yang makin bingung.
Saat
itu, Kak Randy pergi sebentar seperti membeli sesuatu. Ia datang dengan membawa
sebatang rokok yang belum menyala dan sebatang lagi rokok yang sedang
dihisapnya. Willy baru sadar mengapa ia dibawa Kak Randy ke tempat tersebut.
“Nih,
buat loe!” tawar Kak Randy sambil menjulurkan tangannya ke Willy.
“Ngga
ah Kak!” tolak Willy dengan halus.
“No problem, sekali hisap aja!” kata Kak
Randy meyakinkan.
Walaupun
awalnya Willy tidak mau, Willy akhirnya memberanikan diri untuk mencoba.
Ternyata itu membuatnya ketagihan. Malam itu ia tidak hanya diajari merokok
oleh Kak Randy, tetapi hal negatif lainnya.
Setelah
malam itu, Willy sedikit menjadi aneh, ia menjadi malas, membangkang dan kadang
sulit tidur. Bahkan suatu ketika ia berani mengambil uang ayahnya sendiri untuk
membeli sebungkus rokok. Walau awalnya sang ayah tidak mengetahui hal tersebut,
namun lambat laun ayah Willy mengetahuinya, seperti kata pepatah “sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya
jatuh juga.”. Mungkin ini sedang dialami sendiri oleh Willy. Sampai pada
suatu sore, ayahnya memanggil Willy ke ruang keluarga untuk membicarakan
masalah tersebut empat mata.
“Tumben
Yah panggil Willy? Ada apa? Kelihatannya serius?” kata Willy membuka
pembicaraan.
“Duduklah,
Ayah akan bertanya padamu!” suruh Ayah Willy dengan halus.
Sebenarnya
Willy sudah menyangka kalau hari itu akan terjadi.
“Begini,
Nak. Akhir-akhir ini kau terlihat berbeda dari biasanya, memang sebenarnya apa
yang terjadi?” tanya Ayah Willy.
“Maksud
Ayah?” jawab Willy pura-pura tidak mengerti.
“Sekarang
kamu terlihat aneh, sering pulang malam, tugas tidak dikerjakan, bahkan slogan
anti malasmu juga kau langgar.” tanya Ayah dengan hati-hati agar tidak
menyinggung perasaan anak kesayangannya tersebut.
“Oh,
masalah itu. Iya Yah, akhir-akhir ini Willy banyak tugas jadi agak kecapaian. Apalagi tugasnya harus dikumpulin minggu depan.” Jawab Willy
yang terpaksa berbohong.
“Tapi
Ayah harap ini bukan kau.” celetuk Ayah tiba-tiba.
“Apa
Yah?” tanya Willy heran.
“Begini,
akhir-akhir ini uang Ayah sering hilang, padahal Ayah tidak merasa
menggunakannya.” Kata Ayah Willy.
“Lalu,
apa hubungannya dengan Willy?” tanya Willy dengan nada marah.
“Atau
Ayah menuduh Willy yang mengambilnya?!” sambung Willy yang hatinya sedang
kalang-kabut kebingungan.
“Tidak,
Ayah hanya bertanya padamu.” jawab Ayah Willy.
Ketika
ayahnya sedang berbicara, ia pergi ke kamarnya dan membanting pintu.
“Sial!
Ayah udah tahu kalau gue yang ambil uangnya!” katanya kebingungan.
Dalam
hatinya ia menyesalinya, tetapi ia juga berfikir kalau ia akan kabur ke rumah Kak
Randy saat itu juga. Willy mengambil ponselnya dan memberitahukan bahwa ia akan
pergi ke rumah Kak Randy. Saat itu juga, ia mengambil koper dan mengambil baju
secukupnya. Ia juga membawa sedikit uang yang ia miliki dan segera pergi tanpa
pamit terlebih dahulu.
Sampai
di rumah Kak Randy, ia sudah berada di teras rumahnya.
“Hai
Kak!” sapa Willy.
“Masuk
dulu!” ajak Kak Randy.
“Okay
Kak!” jawab Willy.
Mereka
berdua masuk ke rumah Kak Randy, kebetulan Kak Randy ini nge-kost satu rumah
untuk dirinya sendiri.
“Kok
bisa loe kabur?” tanya Kak Randy.
“Panjang
deh ceritanya!” jawab Willy yang tidak mau memberi tahukan alasan sebenarnya,
ia takut Kak Randy mengusirnya.
“Tapi
udah tau konsekuensinya ‘kan?” kata Kak Randy dengan serius.
Saat
itu Kak Randy jauh berbeda seperti aslinya, kali ini ia nampak serius karena ia
taku orang tua Willy akan memarahinya.
Malam
itu Willy tidur di kamar tamu milik Kak Randy. Kamarnya cukup luas dan nyaman
untuk ukuran kost-an anak muda. Esoknya, Kak Randy mengajak Willy untuk bertemu
dengan temannya di sebuah bengkel motor.
“Will,
hari ini loe gak usah sekolah ya!” ungkap Kak Randy.
“Loh,
emang kenapa?” tanya Willy.
“Loe
mau gak gue ajak ke bengkel motor temen gue?” ajak Kak Randy.
Untuk
pertama kalinya, hari itu Willy tidak berangkat sekolah. Ia dibawa Kak Randy ke
bengkel temannya. Di sana teman Kak Randy sudah menunggu.
“Hai
Bro, nggak berangkat lagi?” kata Kak Indra. Ia adalah teman Kak Randy yang
sudah bersekolah di Universitas Swasta di Bandung.
“Enggak
ah, males gue!” jawab Kak Randy.
“Jangan
gitu dong, elu juga butuh sekolah kali!” kata Kak Indra yang sedikit menasihati
Kak Randy.
“Loe
bawa adik siapa?” tanya Kak Indra yang belum tahu Willy.
“Engga,
dia sodara gue, lagi liburan.” sahut Kak Randy.
“Oooh,
loe ada perlu apa ke sini?” tanya Kak Indra.
“Gue
cuma bisa naik motor tapi nggak bisa ngajarin, katanya saudara gue ini pengin
bisa naik motor, loe bisa ngajarin?” alih Kak Randy.
“Oke,
mau sekarang?” tawar Kak Indra.
“Iya
Kak boleh!” jawab Willy dengan semangat. Willy tidak pernah meminta untuk
diajari naik motor, tapi hari itu Kak Randy memberinya kejutan.
Saat
itu juga Kak Indra mengajarkan Willy menunggang motor dengan baik. Willy juga
langsung mempraktekannya dengan baik. Setelah latihan, Willy dan Kak Randy
pamit untuk pulang.
“Terima
kasih, Kak!!” ucap Willy kepada Kak Indra.
“Ok,
sama-sama, jangan kapok main ke sini lagi ya!” ujar Kak Indra sambil
melambaikan tangannya.
Willy
dan Kak Randy pulang ke rumah kost Kak Randy. Ternyata Willy benar-benar senang
hari itu.
Satu
minggu setelah Willy melarikan diri dari rumah dan ia tidak berangkat sekolah,
jelas orang tua Willy sangat mencemaskannya. Setiap hari Ibu Willy menangis dan
sejak seminggu lalu ayah Willy dirundung rasa bersalah yang luar biasa.
“Apa
yang sedang Willy lakukan sekarang, Yah?” tangis sang Ibu.
“Tenang
saja Bu, Willy di luar sana pasti bisa menjaga dirinya.” kata Ayah Willy yang
berusaha menenangkan isterinya, walaupun hatinya sendiri tidak karuan.
“Semoga
dia baik-baik saja.” do’a sang Ibu unuk Willy.
Di
sisi lain, Willy sedang bersenang-senang dengan hidupnya sekarang. Hari itu Kak
Randy menantang Willy yang baru saja bisa mengendarai sepeda motor untuk balapan
dengan Kak Randy malam itu.
“Woi,
ntar malem gue nantang loe balapan di alun-alun!” tantang Kak Randy.
“Oke,
Cuma kita berdua ‘kan?” jawab Willy.
“Enggak,
ada temen yang lain.” kata Kak Randy.
“Tapi
gue pake motor siapa?” tanya Willy bingung.
“Naik
motor ini, ntar gue yang pinjem!” jawab Kak Randy.
“
Ya deh, gue mau.” jawab Willy.
Malamnya,
mereka segera pergi ke alun-alun. Teman nge-trek
Kak Randy Randy sudah siap memacu kendaraan mereka.
“Hai,
Sob!” sambut seorang teman Kak Randy. Ternyata ia sorang perempuan yang cantik
parasnya, namanya Mira.
“Loe
bawa siap?” tanya Mira.
“Sodara
gue!” kata Kak Randy.
“Willy,,,.”
katanya untuk memperkenalkan dirinya. Diam-diam Willy terus memikirkan Mira.
Tiba-tiba
seseorang berkata “Mira, Willy, Randy, Jacko siapkan diri kalian!”
Willy
segera menempatkan dirinya di garis start, begitu pula dengan lawan-lawannya.
“3,
2, 1! GO!!” teriak seseorang untuk
mengawali balapan malam itu.
Balapan
motor kali itu adalah balapan illegal dan berbahaya, pesertanya tidak
menggunakan pelindung untuk pengaman tubuh mereka. Kali ini balapan
dilaksanakan 3 lap. Walau termasuk baru, Willy mendaatkan posisi ketiga di lap
kedua, namum ketika akan memasuki lap terakhir, tiba-tiba Willy kehilangan
konsentrasinya.
Kecelakaanpun
tidak terelakkan, motornya jatuh dan menabrak tiang telepon. Motornya rusak
parah dan celakanya Willy tidak menggunakan helm atau pengaman sama sekali. Ya,
Willy terluka parah dan dilarikan ke rumah sakit di daerah Mayong. Willy segera
dilarikan ke UGD, sedangkan Kak Randy yang sehat segera menghubungi nomor rumah
Willy yang ia tahu. Saat ditelepon ternyata Ibu Willy yang mengangkatnya.
“Malam,
dengan keluarga Willy?” kata Randy
“Iya,
benar, ada apa?” jawab Ibu Willy.
“Maaf,
anak Ibu, Willy sekarang sedang berada di rumah sakit karena kecelakaan parah.”
kata Kak Randy sambil terisak.
“Apa???????”
tanya sang Ibu lirih.
Sejenak
diam, sunyi, Ibu Willy lalu histeris dan memanggil suaminya untuk segera ke
rumah sakit.
Ayah
dan Ibu Willy segera pergi menuju rumah sakit, ternyata Willy sudah dipindah ke
ICCU saat mereka datang ke rumah sakit tersebut.
“Permisi
Suster, kamar atas nama Willy di ruang apa?” tanya Ayah.
“ICCU,
di belakang Ruang Gardensil.” jawab Suster.
“Terima
Kasih!” kata sang Ayah sambil berlari.
Mereka
berdua segera menuju ke Ruang ICCU. Mereka hanya dapat melihat anak kesayangan
mereka terbaring lemas di atas ranjang dari luar.
“Anakku
sayang...” kata Ibu yang terisak.
“Sudah
Bu, yang penting sekarang kita berdo’a.” kata Ayah.
Tiba-tiba
Kak Randy datang menghampiri mereka.
“Keluarga
Willy?” tanya Kak Randy.
“Iya.”
jawab Ayah Willy.
“Saya
Randy, teman Willy. Seminggu lalu dia datang ke rumah saya, katanya ada
masalah.” terang Kak Randy.
“Oh,
terima kasih, tapi kenapa Willy bisa sampai begini?” tanya Ayah Willy.
“Saya
yang mengajarinya, maafkan saya, Pak.” jawab Kak andy sedikit takut.
“Sialan!
Jadi kamu yang membuat anakku jadi seperti ini sekarang!” tanya Ayah dengan
tamparan keras yang mendarat di wajah Kak Randy.
“Sudah,
Yah. Maafkan saja dia, ini sudah takdir kita.” kata Ibu Willy.
“Baik,
tapi jika ada masalah yang terjadi, kamu yang bertanggung jawab!” kata Ayah Willy
dengan emosi yang meledak-ledak.
“Iya,
saya siap menanggungnya.” jawab Kak Randy.
Sehari
setelah aku tahu kalau Willy dirawat di rumah sakit, aku segera pergi
menjenguknya di rumah sakit. Aku yang bersahabat dengannya sejak kecil tidak
tega melihatnya waktu itu. Setiap pulang sekolah aku sempatkan untuk melihat
keadaannya. Setelah dua minggu di ICCU sekarang Willy sudah dipindah ke ruang
rawat biasa. Ulang tahun ke-14nya saat itu kami rayakan tanpa senyum dan
ekspresi dari Willy, namun sehari setelah ulang tahunnya keadaan Willy semakin
membaik.
Hari
itu, tanggal 24 Januari 2011 Willy siuman.
“Willy.....!!!”
serempak kami lontarkan nama ini.
“Yeon,
Ibu, Ayah!” katanya lirih.
“Maafkan
Willy ya...” sambungnya.
“Iya,
kami sudah maafkan kamu!” kata sang Ibu.
“Boleh
aku bicara empat mata dengan Yeon?” kata Willy.
“Ya.”
kata Ayah dan Ibu Willy.
“Yeon,
boleh aku titip pesan?” kata Willy.
Saat
itu nada bicaranya aneh namun dalam.
“Apa?”
kataku halus.
Saat
itu Willy menceritakan semua yang terjadi saat ia melarikan diri dari rumah
dengan detail. Spontan air mata menetes dari mataku. Kami berpelukan seperti
saudara kandung. Rasanya berbeda, hangat. Saat itu ia menuliskan sepucuk surat.
Dear All,
Willy sayang kalian
semua, Willy menyesal melakukan itu kemarin. Sekarang, Willy akan hidup dengan
kehidupan Willy yang baru. Jangan lupakan Willy, seumur hidup kalian.
Willy.
Ya,
kalimat ini adalah kalimat terakhirnya sebelum ia menghembuskan nafas yang terakhir.
Kami yang ada di sana saat itu menangis histeris setelah mengetahui Willy telah
tiada...
***
Hari
ini tanggal 24 Januari 2012, tepat setahun setelah Willy meninggalkan kami,
kubawa surat tersebut ke makamnya untuk mengingatnya di lubuk hatiku terdalam
sebagai seorang sahabat dan menjadikan ini semua sebagai sepenggal cerita
kehidupan.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar