Sabtu, 01 Desember 2012

Akhir Penyesalan


Oleh Ilham Dwi Hatmawan
Aku dan Willy sudah bersahabat sejak kita masih kecil. Willy adalah anak muda biasa yang mudah bersahabat dengan siapapun, tetapi sifatnya inilah yang telah membuat hidupnya hancur dan berakhir tanpa arti.
Saat itu Willy dan aku duduk di bangku kelas 8. Willy adalah anak yang cerdas tetapi tetap bisa bergaul dengan lingkungannya, karena itu banyak teman yang menyukainya. Suatu ketika ia pernah bertemu dengan Randy, siswa SMA yang terkenal sebagai ‘Raja Sekoah’ karena sifatnya yang buruk dan jelas berbanding terbalik dengan sifat Willy. Sepulang sekolah saat Randy berada di warung depan sekolah Willy. Ia bertemu dengan Willy.
“Woi bocah tengik, loe baru pulang?” kata Kak Randy saat bertemu dengan Willy.
“Iya, emang kenapa? Loe Randy kan? Gue saranin cepet-cepet tobat deh!” sahut Willy dengan santai lewat begitu saja di depan muka Kak Randy.
“Heh, apa maksud loe? Sialan gak sopan banget!” kata seorang teman Kak Randy.
“Iya deh. Maaf aja, tapi emang bener ‘kan?” jawab Willy. Sebenarnya ia sadar kalau ia sedang menantang maut karena terlalu berani.
“Sial!!!” kata teman Kak Randy sambil mengayunkan tonjokan yang hampir saja mengenai muka Willy.
“Santai, Bro!” kata Kak Randy pada temannya.
“Tunggu dulu, jarang banget gue ketemu sama adik kelas kaya loe. Ntar malem ada acara nggak?” sambung Randy sambil merangkul Willy.
“Gak!” jawab Willy pendek.
“Sebentar aja, nnti malem ketemuan di depan toko belakang sekolah.” ajak Kak Randy.
“Okelah.. tapi gak pake lama kan?” jawab Willy yang tanpa sadar menerima ajakan Kak Randy.
Siang itu mereka pulang ke rumah masing-masing. Sampai di rumah, Ibu Willy terlihat sudah menunggu dengan muka yang cemas.
“Assalamu’alaikum, Bu!” salam Willy.
“Ya ampun, Wa’alaikumsalam! Tumben kamu pulang telat?” tanya Ibu dengan hati lega.
“Iya Bu, maaf. Tadi ada urusan sebentar.” Jawab Willy.
“Oh, begitu. Ya sekarang kamu cepat ganti baju, sholat lalu jangan lupa makan siang!” perintah Ibu Willy.
Setelah makan segera mungkin Willy mengerjakan tugas sekolahnya seperti biasa, selain itu ia juga ingat kalau nanti malam ia harus bertemu dengan Kak Randy. Malamnya, tepat setelah maghrib usai, Willy segera pergi ke toko tempatnya membuat janji dengn Kak Randy.
“Eh.. Kak, dah lama?” pecahnya untuk membuka pembicaraan mereka.
“Eh... elo Will, gue dah lama nunggu, gue kira loe lupa!” jawab Kak Randy sedikit kesal.
“Sorry deh, emang kenapa harus di tempat beginian si?” tanya Willy yang terheran-heran.
“Biar aman.” jawab Kak Randy.
“Maksudnya?” sahut Willy yang makin bingung.
Saat itu, Kak Randy pergi sebentar seperti membeli sesuatu. Ia datang dengan membawa sebatang rokok yang belum menyala dan sebatang lagi rokok yang sedang dihisapnya. Willy baru sadar mengapa ia dibawa Kak Randy ke tempat tersebut.
“Nih, buat loe!” tawar Kak Randy sambil menjulurkan tangannya ke Willy.
“Ngga ah Kak!” tolak Willy dengan halus.
No problem, sekali hisap aja!” kata Kak Randy meyakinkan.
Walaupun awalnya Willy tidak mau, Willy akhirnya memberanikan diri untuk mencoba. Ternyata itu membuatnya ketagihan. Malam itu ia tidak hanya diajari merokok oleh Kak Randy, tetapi hal negatif lainnya.
Setelah malam itu, Willy sedikit menjadi aneh, ia menjadi malas, membangkang dan kadang sulit tidur. Bahkan suatu ketika ia berani mengambil uang ayahnya sendiri untuk membeli sebungkus rokok. Walau awalnya sang ayah tidak mengetahui hal tersebut, namun lambat laun ayah Willy mengetahuinya, seperti kata pepatah “sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga.”. Mungkin ini sedang dialami sendiri oleh Willy. Sampai pada suatu sore, ayahnya memanggil Willy ke ruang keluarga untuk membicarakan masalah tersebut empat mata.
“Tumben Yah panggil Willy? Ada apa? Kelihatannya serius?” kata Willy membuka pembicaraan.
“Duduklah, Ayah akan bertanya padamu!” suruh Ayah Willy dengan halus.
Sebenarnya Willy sudah menyangka kalau hari itu akan terjadi.
“Begini, Nak. Akhir-akhir ini kau terlihat berbeda dari biasanya, memang sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Ayah Willy.
“Maksud Ayah?” jawab Willy pura-pura tidak mengerti.
“Sekarang kamu terlihat aneh, sering pulang malam, tugas tidak dikerjakan, bahkan slogan anti malasmu juga kau langgar.” tanya Ayah dengan hati-hati agar tidak menyinggung perasaan anak kesayangannya tersebut.
“Oh, masalah itu. Iya Yah, akhir-akhir ini Willy banyak tugas jadi agak kecapaian. Apalagi tugasnya harus dikumpulin minggu depan.” Jawab Willy yang terpaksa berbohong.
“Tapi Ayah harap ini bukan kau.” celetuk Ayah tiba-tiba.
“Apa Yah?” tanya Willy heran.
“Begini, akhir-akhir ini uang Ayah sering hilang, padahal Ayah tidak merasa menggunakannya.” Kata Ayah Willy.
“Lalu, apa hubungannya dengan Willy?” tanya Willy dengan nada marah.
“Atau Ayah menuduh Willy yang mengambilnya?!” sambung Willy yang hatinya sedang kalang-kabut kebingungan.
“Tidak, Ayah hanya bertanya padamu.” jawab Ayah Willy.
Ketika ayahnya sedang berbicara, ia pergi ke kamarnya dan membanting pintu.
“Sial! Ayah udah tahu kalau gue yang ambil uangnya!” katanya kebingungan.
Dalam hatinya ia menyesalinya, tetapi ia juga berfikir kalau ia akan kabur ke rumah Kak Randy saat itu juga. Willy mengambil ponselnya dan memberitahukan bahwa ia akan pergi ke rumah Kak Randy. Saat itu juga, ia mengambil koper dan mengambil baju secukupnya. Ia juga membawa sedikit uang yang ia miliki dan segera pergi tanpa pamit terlebih dahulu.
Sampai di rumah Kak Randy, ia sudah berada di teras rumahnya.
“Hai Kak!” sapa Willy.
“Masuk dulu!” ajak Kak Randy.
“Okay Kak!” jawab Willy.
Mereka berdua masuk ke rumah Kak Randy, kebetulan Kak Randy ini nge-kost satu rumah untuk dirinya sendiri.
“Kok bisa loe kabur?” tanya Kak Randy.
“Panjang deh ceritanya!” jawab Willy yang tidak mau memberi tahukan alasan sebenarnya, ia takut Kak Randy mengusirnya.
“Tapi udah tau konsekuensinya ‘kan?” kata Kak Randy dengan serius.
Saat itu Kak Randy jauh berbeda seperti aslinya, kali ini ia nampak serius karena ia taku orang tua Willy akan memarahinya.
Malam itu Willy tidur di kamar tamu milik Kak Randy. Kamarnya cukup luas dan nyaman untuk ukuran kost-an anak muda. Esoknya, Kak Randy mengajak Willy untuk bertemu dengan temannya di sebuah bengkel motor.
“Will, hari ini loe gak usah sekolah ya!” ungkap Kak Randy.
“Loh, emang kenapa?” tanya Willy.
“Loe mau gak gue ajak ke bengkel motor temen gue?” ajak Kak Randy.
Untuk pertama kalinya, hari itu Willy tidak berangkat sekolah. Ia dibawa Kak Randy ke bengkel temannya. Di sana teman Kak Randy sudah menunggu.
“Hai Bro, nggak berangkat lagi?” kata Kak Indra. Ia adalah teman Kak Randy yang sudah bersekolah di Universitas Swasta di Bandung.
“Enggak ah, males gue!” jawab Kak Randy.
“Jangan gitu dong, elu juga butuh sekolah kali!” kata Kak Indra yang sedikit menasihati Kak Randy.
“Loe bawa adik siapa?” tanya Kak Indra yang belum tahu Willy.
“Engga, dia sodara gue, lagi liburan.” sahut Kak Randy.
“Oooh, loe ada perlu apa ke sini?” tanya Kak Indra.
“Gue cuma bisa naik motor tapi nggak bisa ngajarin, katanya saudara gue ini pengin bisa naik motor, loe bisa ngajarin?” alih Kak Randy.
“Oke, mau sekarang?” tawar Kak Indra.
“Iya Kak boleh!” jawab Willy dengan semangat. Willy tidak pernah meminta untuk diajari naik motor, tapi hari itu Kak Randy memberinya kejutan.
Saat itu juga Kak Indra mengajarkan Willy menunggang motor dengan baik. Willy juga langsung mempraktekannya dengan baik. Setelah latihan, Willy dan Kak Randy pamit untuk pulang.
“Terima kasih, Kak!!” ucap Willy kepada Kak Indra.
“Ok, sama-sama, jangan kapok main ke sini lagi ya!” ujar Kak Indra sambil melambaikan tangannya.
Willy dan Kak Randy pulang ke rumah kost Kak Randy. Ternyata Willy benar-benar senang hari itu.
Satu minggu setelah Willy melarikan diri dari rumah dan ia tidak berangkat sekolah, jelas orang tua Willy sangat mencemaskannya. Setiap hari Ibu Willy menangis dan sejak seminggu lalu ayah Willy dirundung rasa bersalah yang luar biasa.
“Apa yang sedang Willy lakukan sekarang, Yah?” tangis sang Ibu.
“Tenang saja Bu, Willy di luar sana pasti bisa menjaga dirinya.” kata Ayah Willy yang berusaha menenangkan isterinya, walaupun hatinya sendiri tidak karuan.
“Semoga dia baik-baik saja.” do’a sang Ibu unuk Willy.
Di sisi lain, Willy sedang bersenang-senang dengan hidupnya sekarang. Hari itu Kak Randy menantang Willy yang baru saja bisa mengendarai sepeda motor untuk balapan dengan Kak Randy malam itu.
“Woi, ntar malem gue nantang loe balapan di alun-alun!” tantang Kak Randy.
“Oke, Cuma kita berdua ‘kan?” jawab Willy.
“Enggak, ada temen yang lain.” kata Kak Randy.
“Tapi gue pake motor siapa?” tanya Willy bingung.
“Naik motor ini, ntar gue yang pinjem!” jawab Kak Randy.
“ Ya deh, gue mau.” jawab Willy.
Malamnya, mereka segera pergi ke alun-alun. Teman nge-trek Kak Randy Randy sudah siap memacu kendaraan mereka.
“Hai, Sob!” sambut seorang teman Kak Randy. Ternyata ia sorang perempuan yang cantik parasnya, namanya Mira.
“Loe bawa siap?” tanya Mira.
“Sodara gue!” kata Kak Randy.
“Willy,,,.” katanya untuk memperkenalkan dirinya. Diam-diam Willy terus memikirkan Mira.
Tiba-tiba seseorang berkata “Mira, Willy, Randy, Jacko siapkan diri kalian!”
Willy segera menempatkan dirinya di garis start, begitu pula dengan lawan-lawannya.
“3, 2, 1! GO!!” teriak seseorang untuk mengawali balapan malam itu.
Balapan motor kali itu adalah balapan illegal dan berbahaya, pesertanya tidak menggunakan pelindung untuk pengaman tubuh mereka. Kali ini balapan dilaksanakan 3 lap. Walau termasuk baru, Willy mendaatkan posisi ketiga di lap kedua, namum ketika akan memasuki lap terakhir, tiba-tiba Willy kehilangan konsentrasinya.
Kecelakaanpun tidak terelakkan, motornya jatuh dan menabrak tiang telepon. Motornya rusak parah dan celakanya Willy tidak menggunakan helm atau pengaman sama sekali. Ya, Willy terluka parah dan dilarikan ke rumah sakit di daerah Mayong. Willy segera dilarikan ke UGD, sedangkan Kak Randy yang sehat segera menghubungi nomor rumah Willy yang ia tahu. Saat ditelepon ternyata Ibu Willy yang mengangkatnya.
“Malam, dengan keluarga Willy?” kata Randy
“Iya, benar, ada apa?” jawab Ibu Willy.
“Maaf, anak Ibu, Willy sekarang sedang berada di rumah sakit karena kecelakaan parah.” kata Kak Randy sambil terisak.
“Apa???????” tanya sang Ibu lirih.
Sejenak diam, sunyi, Ibu Willy lalu histeris dan memanggil suaminya untuk segera ke rumah sakit.
Ayah dan Ibu Willy segera pergi menuju rumah sakit, ternyata Willy sudah dipindah ke ICCU saat mereka datang ke rumah sakit tersebut.
“Permisi Suster, kamar atas nama Willy di ruang apa?” tanya Ayah.
“ICCU, di belakang Ruang Gardensil.” jawab Suster.
“Terima Kasih!” kata sang Ayah sambil berlari.
Mereka berdua segera menuju ke Ruang ICCU. Mereka hanya dapat melihat anak kesayangan mereka terbaring lemas di atas ranjang dari luar.
“Anakku sayang...” kata Ibu yang terisak.
“Sudah Bu, yang penting sekarang kita berdo’a.” kata Ayah.
Tiba-tiba Kak Randy datang menghampiri mereka.
“Keluarga Willy?” tanya Kak Randy.
“Iya.” jawab Ayah Willy.
“Saya Randy, teman Willy. Seminggu lalu dia datang ke rumah saya, katanya ada masalah.” terang Kak Randy.
“Oh, terima kasih, tapi kenapa Willy bisa sampai begini?” tanya Ayah Willy.
“Saya yang mengajarinya, maafkan saya, Pak.” jawab Kak andy sedikit takut.
“Sialan! Jadi kamu yang membuat anakku jadi seperti ini sekarang!” tanya Ayah dengan tamparan keras yang mendarat di wajah Kak Randy.
“Sudah, Yah. Maafkan saja dia, ini sudah takdir kita.” kata Ibu Willy.
“Baik, tapi jika ada masalah yang terjadi, kamu yang bertanggung jawab!” kata Ayah Willy dengan emosi yang meledak-ledak.
“Iya, saya siap menanggungnya.” jawab Kak Randy.
Sehari setelah aku tahu kalau Willy dirawat di rumah sakit, aku segera pergi menjenguknya di rumah sakit. Aku yang bersahabat dengannya sejak kecil tidak tega melihatnya waktu itu. Setiap pulang sekolah aku sempatkan untuk melihat keadaannya. Setelah dua minggu di ICCU sekarang Willy sudah dipindah ke ruang rawat biasa. Ulang tahun ke-14nya saat itu kami rayakan tanpa senyum dan ekspresi dari Willy, namun sehari setelah ulang tahunnya keadaan Willy semakin membaik.
Hari itu, tanggal 24 Januari 2011 Willy siuman.
“Willy.....!!!” serempak kami lontarkan nama ini.
“Yeon, Ibu, Ayah!” katanya lirih.
“Maafkan Willy ya...” sambungnya.
“Iya, kami sudah maafkan kamu!” kata sang Ibu.
“Boleh aku bicara empat mata dengan Yeon?” kata Willy.
“Ya.” kata Ayah dan Ibu Willy.
“Yeon, boleh aku titip pesan?” kata Willy.
Saat itu nada bicaranya aneh namun dalam.
“Apa?” kataku halus.
Saat itu Willy menceritakan semua yang terjadi saat ia melarikan diri dari rumah dengan detail. Spontan air mata menetes dari mataku. Kami berpelukan seperti saudara kandung. Rasanya berbeda, hangat. Saat itu ia menuliskan sepucuk surat.
Dear All,
Willy sayang kalian semua, Willy menyesal melakukan itu kemarin. Sekarang, Willy akan hidup dengan kehidupan Willy yang baru. Jangan lupakan Willy, seumur hidup kalian.
                                                Willy.
Ya, kalimat ini adalah kalimat terakhirnya sebelum ia menghembuskan nafas yang terakhir. Kami yang ada di sana saat itu menangis histeris setelah mengetahui Willy telah tiada...
***
Hari ini tanggal 24 Januari 2012, tepat setahun setelah Willy meninggalkan kami, kubawa surat tersebut ke makamnya untuk mengingatnya di lubuk hatiku terdalam sebagai seorang sahabat dan menjadikan ini semua sebagai sepenggal cerita kehidupan.


TAMAT

0 comments:

Posting Komentar


Like .:OSA:.!!! Yoo :)